Header Ads

Header ADS

Palestina sebagai Ideologi Bangsa Indonesia

Palestina bukan sekadar isu luar negeri bagi bangsa Indonesia, melainkan bagian dari ideologi perjuangan anti-kolonialisme. Sikap ini bukanlah sikap politik belakangan ini saja, melainkan telah mengakar sejak awal berdirinya Republik Indonesia. Sejak kedatangan bangsa Yahudi ke tanah Palestina dan dimulainya kolonialisme Zionis, para founding fathers Indonesia secara konsisten menyatakan penolakan dan selalu menyatakan keberpihakan kepada Palestina. Sikap ini diwariskan secara berkesinambungan hingga pemerintahan Indonesia masa kini.

Presiden Sukarno, misalnya, menarik Indonesia dari kualifikasi Piala Dunia 1958 karena menolak menjamu Israel di tanah air. Bagi Sukarno, selama Palestina masih berada di bawah penjajahan, Indonesia berdiri di garis depan perlawanan terhadap kolonialisme tersebut.

Pada tahun 1962, Indonesia bahkan harus dicoret dari Komite Olimpiade Internasional karena tidak mengizinkan atlet Israel bertanding dalam Asian Games. Sebagai bentuk perlawanan politik dan solidaritas antikolonial, Indonesia kemudian menyelenggarakan Asian African Games yang dikenal dengan nama GANEFO (Games of the New Emerging Forces).

Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, juga menunjukkan konsistensi sikap tersebut. Meskipun beberapa kali dilobi oleh Israel untuk mengakui keberadaannya, Hatta memilih bersikap diam. Sebaliknya, saat memimpin Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949, ia secara khusus menemui Mufti Palestina, Syaikh Amin al-Husaini, dan menyampaikan terima kasih atas dukungan Palestina terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dukungan terhadap Palestina juga datang dari organisasi-organisasi Islam. Pada tahun 1938, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengedarkan seruan kepada berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Al-Washliyah, Al-Irsyad, Rabithah Alawiyah, serta Majelis Islam A‘la Indonesia agar mengambil sikap tegas terhadap tindakan bangsa Yahudi di Palestina.

H. Agus Salim, tokoh penting pergerakan dan diplomasi Indonesia, dalam tulisannya berjudul “Soal Yahudi dan Palestina” (1939), telah mengkritisi mobilisasi bangsa Yahudi untuk mencaplok tanah Palestina. Ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada periode 1947–1949, Agus Salim secara konsisten mengecam arogansi Barat, khususnya Amerika Serikat dan Inggris, dalam mendukung kolonialisme Israel.

Muhammad Natsir bahkan telah menulis tentang penindasan terhadap Baitul Maqdis sejak tahun 1941, dengan menggunakan perspektif hukum internasional. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Indonesia periode 1953–1955, Sunario Sastrowardoyo, dalam berbagai tulisannya juga menunjukkan komitmen kuat dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan mengkritik penjajahan Zionis Israel.

Tragedi pembakaran Masjid Al-Aqsa pada 21 Agustus 1969 turut memicu gelombang solidaritas besar dari rakyat Indonesia. Salah satu bentuk nyata solidaritas tersebut adalah penggalangan dana yang dimuat di Harian Abadi dengan tajuk “Kotak Dana Perjuangan untuk Pembebasan Al-Masjid Al-Aqsha.

Seluruh fakta sejarah ini dapat ditemukan dalam buku Hamas: Superpower Baru Dunia Islam” karya jurnalis internasional Pizaro Gozali Idrus, yang pertama kali diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar pada Mei 2024. Buku setebal 288 halaman ini terbagi ke dalam tiga bagian utama.

Pada bagian pertama, penulis mengulas sejarah Hamas dan perjuangan rakyat Palestina secara komprehensif. Banyak fakta yang membuka mata pembaca, di antaranya bantahan terhadap tuduhan bahwa Hamas adalah kelompok Syiah, serta penjelasan mengenai reputasi Hamas sebagai superpower baru dunia Islam di tengah sikap pasif dan pengecut sebagian negara Islam dan Arab dalam menghadapi kolonialisme Israel.

Bagian kedua menyoroti hubungan historis dan ideologis Indonesia dengan perjuangan Palestina, sebagaimana dipaparkan dalam rangkaian peristiwa dan sikap para tokoh nasional di atas.

Sementara pada bagian ketiga, penulis mengungkap ketimpangan media internasional dalam memberitakan penjajahan di Palestina, yang kerap berpihak pada Israel. Padahal, korban sesungguhnya adalah bangsa Palestina, sementara Israel bertindak sebagai pelaku penjajahan.

Buku ini penting dibaca untuk menegaskan kembali keberpihakan kita terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa tertindas. Argumennya diperkuat dengan data yang melimpah, termasuk lebih dari sepuluh halaman daftar pustaka, bahkan beberapa di antaranya bersumber dari referensi internal Israel.

Pengantar dari anggota Biro Politik dan Kepala Departemen Politik Hamas, Dr. Basem Naem, semakin menegaskan bahwa buku ini bukan sekadar opini, melainkan karya serius yang berbasis riset, sejarah, dan keberanian intelektual dalam membela kebenaran. Meskipun begitu, buku ini tetap ringan dibaca oleh siapa saja yang ingin mengetahui data dan fakta sesungguhnya atas apa yang terjadi di tanah Palestina, khususnya di tengah ketimpangan media menyikapi operasi Badai Al-Aqsha belakangan ini.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.