Pendidikan Anak: Jajan dan Kejujuran
Saya bersyukur dianugerahi anak-anak seperti
mereka di kehidupan saya. Di antaranya adalah sebagaimana yang sering dikatakan oleh orang-orang,
“Anak-anakmu kok gampang men ta?”
Dalam hal jajan misalkan, sejak kecil mereka
sudah terbiasa meminta izin terlebih dahulu jika ingin jajan. Tentu kita sering
melihat anak-anak yang sulit dikondisikan dalam hal ini. Ketika ada penjual
lewat depan rumah, mereka langsung berteriak, “tumbas!” lalu pulang masuk ke
rumah. Setelah ternyata tidak diizinkan oleh ibunya, anak itu akhirnya tidak keluar
rumah lagi, sementara penjualnya harus menunggu beberapa waktu ternyata hanya
php, kasihan kan?
Berbeda dengan anak-anak saya. Biasanya mereka akan berkata lebih dulu, “Bah, aku tumbas boleh?” Pernah juga, bahkan sebelum pedagang lewat, karena mungkin sudah hafal jadwal lewatnya pedagang tertentu, mereka sudah bertanya pada ibunya, “Umma, teng griyo entek nasi kalih lauk mboten?” Jika dijawab “enten”, ia hanya berkata datar, “nggeh empun.” Jika dijawab “mboten”, barulah dia melanjutkan, “Mengke aku tumbas sate-sate pareng?” Setelah ibunya menjawab, “Tumbaso!” pasti dia akan bersorak girang.
Saat di jalan dan pengin jajan pun, mereka
selalu bertanya lebih dulu, “Abah mbeto duwit mboten?” Jika saya jawab “mbeto”,
ia baru melanjutkan, “Aku jajan boleh?” Namun jika jawabannya “mboten”, ia Kembali
hanya berkata, “nggeh, empun.”
Pernah suatu kali gajian saya agak telat.
Hampir setiap hari ia bertanya, “Abah sampun gajian dereng?” Beberapa kali saya
jawab, “dereng.” Meskipun pastinya tampak ada rona kecewa, ia tetap bisa
menerima. Ketika akhirnya saya menjawab, “sampun,” ia langsung girang, “yeee…
ayo tumbas-tumbas bah, boleh nggeh, boleh nggeh?”
Sebagian orang tua ada yang memilih berbohong
kepada anaknya dalam urusan jajan, misalnya dengan mengatakan, “Itu makanannya
tidak enak,” atau “Itu ayam mati, tidak boleh dimakan,” pernah juga saya
dengar, “Itu makanan beracun,” atau misal mintanya pas di jalan mereka menjanjikan,
“Nanti beli di rumah.” Padahal, ternyata anak hanya sedang menerima kebohongan
dari orang tuanya.
Kalau saya, lebih memilih untuk selalu jujur
kepada anak-anak saya. Boleh ya boleh, tidak ya tidak. Jika ada makanan tertentu
yang memang tidak baik untuk anak, seperti yang banyak pengawet atau penyedap
rasa, saya jelaskan secara terus terang kepada anak sesuai dengan pemahaman
mereka.
Alhamdulillah, hingga kini mereka bisa
dikondisikan tanpa harus dengan kebohongan atau pemaksaan. Kekecewaan pasti
ada, tetapi mereka mampu memakluminya tanpa harus berguling-guling, menangis,
berteriak, atau berperilaku berlebihan.
Dari pengalaman ini saya belajar bahwa kejujuran, ketegasan, dan konsistensi dalam mendidik anak justru menumbuhkan sikap menerima dan pengendalian diri pada mereka. Anak mungkin kecewa sesaat, tetapi kejujuran orang tua akan membentuk kepercayaan dan kedewasaan yang jauh lebih bernilai dalam jangka panjang. Semoga.
Tidak ada komentar