Rapot dan Nilai Kehidupan
Hari ini sudah ada
yang membagikan kertas-kertas dengan kumpulan angka-angka. Dulu, saya pernah
merasakan tekanan, atau ketidaknyamanan karena angka-angka ini dari orang-orang
di sekitar saya, meskipun tidak perlu disebutkan siapa saja.
Saya mungkin termasuk
orang yang terbilang aneh. Biasanya, anak sekolah yang nilainya tinggi akan
terus berada di peringkat atas, misalnya selalu di tiga atau lima besar.
Sebaliknya, ada juga yang nilainya selalu berada di bawah. Namun, saya pernah
merasakan keduanya.
Selama sekolah saya
pernah masuk tiga besar, bahkan pernah meraih peringkat satu. Di lain waktu,
saya juga pernah terpuruk hingga berada di peringkat dua puluhan. Setiap
menjelang pembagian nilai, sering kali ada janji: akan diberi ini atau itu,
hadiah jika nilainya bagus atau masuk tiga besar. Namun, sepertinya janji-janji
itu sering kali hanya menjadi harapan palsu. Tidak ada apresiasi.
Tapi ketika nilainya
jelek, saya bisa dimarahi habis-habisan, bahkan kadang harus merasakan makian.
Meski begitu, saya tidak merasa dendam sedikit pun. Jika saya menyimpan dendam,
tentu saya akan melakukan hal yang sama kepada anak atau murid-murid saya.
Nyatanya, itu tidak pernah terjadi. Pengalaman masa sekolah itu sangat
membekas dan membentuk cara pandang saya terhadap penilaian.
Karena itu, ketika
saya menjadi guru, saya bersikap lebih santai terhadap angka. Tetap menjadi
bahan nasihat dan motivasi bagi murid yang nilainya rendah, serta diapresiasi
bagi yang nilainya tinggi. Beberapa murid yang dulu saya ajar ternyata ada yang
masih ingat kalau pernah saya beri hadiah karena nilai tes atau rapotnya
tinggi. Namun saya tidak pernah memposisikan nilai itu sebagai sesuatu yang
sakral atau menjadi hal yang di atas segalanya.
Hal yang sama saya
terapkan saat saya menjadi wali kelas. Di sekolah saya dahulu terdapat dua
jenis rapot: rapot pondok yang memuat nilai asli, dan rapot formal yang
disesuaikan dengan nilai minimal KKM. Ketika pembagian rapot, tidak sedikit
orang tua yang mengeluhkan nilai anaknya, yang menurut mereka tidak memuaskan.
Biasanya saya menanggapinya dengan tenang, atau malah cenderung santai. Bahkan,
sering kali saya justru bertanya, “Anak bapak kalau pulang dari pondok di
rumah bagaimana?”
“Ya baik, Ustadz.
Kadang suka bantu-bantu, shalat juga di masjid, pokoknya lebih baik daripada
sebelum mondok dulu.”
Mendengar itu, sambil
menunjuk lembaran rapot, saya biasanya menjawab, “Pangapunten, Bapak. Menurut
saya, itu jauh lebih bermakna daripada kumpulan angka-angka yang ada di sini.”
Pengalaman ini menguatkan keyakinan saya bahwa pendidikan sejatinya bukan tentang mengejar angka semata, melainkan tentang menumbuhkan karakter, akhlak, dan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Angka boleh menjadi alat ukur, tetapi ia tidak pernah cukup untuk menggambarkan nilai seorang anak secara utuh. Ketika pendidikan mampu menghadirkan kebaikan dalam sikap, ibadah, dan hubungan sosial, di situlah makna belajar benar-benar menemukan hakikat yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar